Selasa, 04 Oktober 2011

jiwa perspektif filsafat Islam


JIWA PERSPEKTIF FILSAFAT ISLAM


A.     Al-Kindi
Jiwa menurut Al-kindi, tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nefsu dan pemarah.  Namun demikian, antara jiwa dan jisim, meskipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Bimbingan ini dibutuhkan agar hidup manusia menjadi serasi dan seimbang. Ketidakseimbangan akan terjadi apabila salah satu dari unsur iniberkuasa. Untuk mencapai keseimbangan, manusia memerlukan tuntunan. Yang menuntun ialah iman dan wahyu. Argumen yang dimajukan Al-Kindi tentang perbedaan roh dari badan ialah roh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang. Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat pada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir (appetative, irascible ,dan cognitive faculty). Daya berpikir ini disebut akal. Bagi Al-Kindi, akal ini terbagi pada:[1]
1.      Akal yang bersifat potensial
2.      Akal yang telah keluar dari dari sifat potensial menjadi aktual
3.      Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas
Akal yang bersifat potensial tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Karena itu ada satu macam lagi akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal yang selamanya dalam aktualitas inilah yang menggerakkan potensial menjadi aktual.
 Meskipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.
B.      Al-Farabi
Tentang jiwa, Al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa manusia mempunyai daya-daya, sebagai berikut:[2]
1.      Daya gerak (montion), yakni;
a.      Makan (nutrition)
b.      Memelihara (preservation)
c.       Berkembang (reproduction)
2.      Daya mengetahui (cognition), yakni;
a.      Merasa (sensation)
b.      Imaginasi (imagination)
3.      Daya berpikir (intellection), yakni;
a.      Akal praktis (practical intellect)
b.      Akal teoritis (theoritical intellect)
Daya teoritis terbagi pada tiga tingkatan, yaitu:
1.      Akal potensial, baru mempunyai potensi berpikir
2.      Akal aktual, telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya
3.      Akal mustafad, telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa khalidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah adalah jiwa fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan. Sedangkan jiwa fana  adalah jiwa  jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan.
C.      Ibn Sina

Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni (1) argumen psikofisik, (2) argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) argumen kontinuitas, (4) argumen manusia terbang di udara. Untuk pembuktian yang pertama, Ibn Sina mengatakan bahwa jiwa diperlukan ketika manusia bergerak tidak terpaksa tetapi menentang hukum alam. Untuk pembuktian yang kedua, Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak-menerima. Maka diperlukan jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Dalam pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup itu adalah berubah dalam satu untaian yag tidak putus-putus. Untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat. Adapun pembuktian yang keempat, ketika manusia merasa dirinya melayang penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indra melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari akal 10. Sebagai Aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:[3]
1.      Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2.      Jiwa binatang dengan daya-daya:
a.      Gerak, dan
b.      Menangakap dengan dua bagian: menagkap dari luar dengan panca indra, dan menangkap dari dalam dengan indra-indra dalam:
(i)                 Indra bersama
(ii)               Representasi
(iii)             Imajinasi
(iv)               Estimasi
(v)                Rekoleksi
3.      Jiwa manusia dengan dua daya:
a.      Praktis, berhubungan dengan badan
b.      Teoritis, berhubungan dengan hal yang abstrak. Daya ini yang mempunyai tingkatan:
(i)                 Akal materil
(ii)               Intellectus in habitu
(iii)             Akal aktuil
(iv)              Akal mustafad
Menirut Ibn Sina, jiwa manusia manusia merupakan satu unik yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Walaupun jiwa tidak mempunyai fungsi  fisik. Tetapi, panca indra dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide- ide dari alam sekelilingnya.
D.     Al-Ghazali
Manusia menurut Al-ghozali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus. Istilah-istilah yang di gunakan Al-ghozali untuk jiwa adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql. Jiwa adalah suatu zat dan bukan suatu keadaan atau aksiden. Jasadlah yang bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya.
Bagi Al-ghozali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrati, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Mengenai perihal kekekalan jiwa, Al-ghozali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi ia tidak melakukannya. Di sini Al-ghozali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa apabila di kehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian bantahan Al-ghozali terhadap filsuf bukan pada kekekalan jiwa tapi pada dalil-dalil rasional bukti kekekalan jiwa itu.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik.






















































[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2010) hal: 23
[2] Hasyimsyah,..ibid,. hal: 39
[3] Hasyimsyah,..ibid,. hal:72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar